Senin, 26 Desember 2011

In the Heart of the West Wing

Foto yang pernah ditampilkan harian Kompas ini diambil fotografer Pete Souza saat Osama bin Laden disergap dan kemudian dipastikan tewas. Presiden Obama beserta tim terbatas yang terlibat dalam misi memantaunya secara real time di ruangan khusus White House bernama Situation Room. Hanya orang-orang tertentu yang karib dengan ruangan ini, termasuk Souza. Meskipun ia bukan anggota komunitas intelijen: tidak mewakili tentara, bukan menteri, bukan staf ahli presiden. Souza berada di dalam sana untuk melakukan tugasnya: memotret.

Dari foto Souza kita menyaksikan orang-orang adidaya itu pada basisnya manusia biasa. Reaksi Hillary paling menyolok. Sebagai mantan first lady, kandidat presiden, dan akhirnya menjabat Menteri Luar Negeri, Nyonya Clinton bisa saja disinisi sedang berakting karena pengalamannya selama ini menjadikannya “sangat sensitif kamera”. Tapi kita bisa mengkajinya dari sisi Souza sendiri.

Souza tak bermental abal-abal, yang menguasai teknik dan mengiyakan semua job yang berharga. Sebelum dipercaya Obama memegang tanggung-jawab Director of the White House Photography Office pria kelahiran 1954 itu menempa diri sebagai wartawan foto koran Chicago Tribune dan sebagai freelancer beberapa kali dipercaya mengampu penugasan National Geographic, Life, dan Newsweek. Ia termasuk jurnalis yang berhasil menembus Afghanistan tak lama setelah peristiwa 11 September, melewati pegunungan Hindu Kush yang dingin membeku, untuk merekam jatuhnya Kabul.  

Obama mungkin akan memberikan banyak hal namun Souza punya kapasitas untuk tidak mengalami gegar budaya sebagai bagian dari istana karena pernah berdinas di sana di masa Ronald Reagan. Dengan track record semacam itu lazimnya Souza peka mana yang tulus mana, yang pencitraan. Mana yang mesti diambil, mana yang harus di-out-of-frame.

Wartawan Newsweek Evan Thomas menyebut Obama politisi yang memiliki pemahaman diri yang tulus, seseorang yang tidak pernah berhenti mengembangkan diri. Foto “Situation Room” mengarah ke situ. Seharian itu Souza menghasilkan seribuan foto, 100 di antaranya diambil di Situation Room, dan dari tumpukan foto itu terselip penampilan presiden yang tidak selalu menempatkan diri sebagai sentral. Gesture-nya tidak seperkasa perwira di sisinya. Tidak terbaca keraguan tapi juga tidak terlihat jumawa. Para staf yang bergerombol di belakang menyentuh jiwa bebasnya, tidak harus selalu teratur dan santun. Urusan Bin Laden bagaimanapun soal sesama manusia, sehingga siapapun berhak mengekspresikan batinnya. Ini sekaligus mengonfirmasi kebebasan Souza.         

Jaminan terhadap integritas Souza bersimpul pada solidnya diri Obama sendiri. Jika kita melihat-lihat dokumen-dokumen Situation Room akan terdeteksi perbedaan signifikan misalnya antara Obama dengan Bush Jr. Foto Bush memimpin rapat diidentifikasi sebagai milik US Government, sementara pada Obama tetap ditulis nama fotografernya.

Apresiasi Obama terhadap orang-orang sekitar sudah dipelajari kalangan wartawan di masa kampanye. Kala itu tim Obama telah menghabiskan 20 juta dollar untuk memenangkan Texas tapi tetap saja kalah. Obama lantas mengumpulkan semua stafnya, membahas satu demi satu masalah dan kesalahan mereka, tapi tidak berusaha menyalahkan siapapun. Rapat evaluasi yang menegangkan itu ditutupnya dengan tawa.     

“The job of presidential photographer is all about access and trust,” ujar Souza. “And if you have both of those you’re going to make interesting, historic pictures.” Tentu tidak semua presiden seterbuka, seluwes Obama. Di jaman Richard Nixon fotografer istana harus menghadapi sensor, dan George W. Bush agaknya menyukai blocking. Souza boleh jadi akan menyingkirkan proposal Gedung Putih jika kekaryaannya harus mengikuti kosmetik si boss.

Foto “Situation Room” dipilih redaksi TIME sebagai salah satu Top 10 Photos of 2011. Souza yang sehari-hari memegang kamera Canon 5D Mark II setidaknya memberikan kita atmosfer yang intim dan hangat, yang jauh lebih kita butuhkan ketimbang pernyataan resmi yang kerapkali bikin hidup makin sumpek.