Senin, 26 Desember 2011

In the Heart of the West Wing

Foto yang pernah ditampilkan harian Kompas ini diambil fotografer Pete Souza saat Osama bin Laden disergap dan kemudian dipastikan tewas. Presiden Obama beserta tim terbatas yang terlibat dalam misi memantaunya secara real time di ruangan khusus White House bernama Situation Room. Hanya orang-orang tertentu yang karib dengan ruangan ini, termasuk Souza. Meskipun ia bukan anggota komunitas intelijen: tidak mewakili tentara, bukan menteri, bukan staf ahli presiden. Souza berada di dalam sana untuk melakukan tugasnya: memotret.

Dari foto Souza kita menyaksikan orang-orang adidaya itu pada basisnya manusia biasa. Reaksi Hillary paling menyolok. Sebagai mantan first lady, kandidat presiden, dan akhirnya menjabat Menteri Luar Negeri, Nyonya Clinton bisa saja disinisi sedang berakting karena pengalamannya selama ini menjadikannya “sangat sensitif kamera”. Tapi kita bisa mengkajinya dari sisi Souza sendiri.

Souza tak bermental abal-abal, yang menguasai teknik dan mengiyakan semua job yang berharga. Sebelum dipercaya Obama memegang tanggung-jawab Director of the White House Photography Office pria kelahiran 1954 itu menempa diri sebagai wartawan foto koran Chicago Tribune dan sebagai freelancer beberapa kali dipercaya mengampu penugasan National Geographic, Life, dan Newsweek. Ia termasuk jurnalis yang berhasil menembus Afghanistan tak lama setelah peristiwa 11 September, melewati pegunungan Hindu Kush yang dingin membeku, untuk merekam jatuhnya Kabul.  

Obama mungkin akan memberikan banyak hal namun Souza punya kapasitas untuk tidak mengalami gegar budaya sebagai bagian dari istana karena pernah berdinas di sana di masa Ronald Reagan. Dengan track record semacam itu lazimnya Souza peka mana yang tulus mana, yang pencitraan. Mana yang mesti diambil, mana yang harus di-out-of-frame.

Wartawan Newsweek Evan Thomas menyebut Obama politisi yang memiliki pemahaman diri yang tulus, seseorang yang tidak pernah berhenti mengembangkan diri. Foto “Situation Room” mengarah ke situ. Seharian itu Souza menghasilkan seribuan foto, 100 di antaranya diambil di Situation Room, dan dari tumpukan foto itu terselip penampilan presiden yang tidak selalu menempatkan diri sebagai sentral. Gesture-nya tidak seperkasa perwira di sisinya. Tidak terbaca keraguan tapi juga tidak terlihat jumawa. Para staf yang bergerombol di belakang menyentuh jiwa bebasnya, tidak harus selalu teratur dan santun. Urusan Bin Laden bagaimanapun soal sesama manusia, sehingga siapapun berhak mengekspresikan batinnya. Ini sekaligus mengonfirmasi kebebasan Souza.         

Jaminan terhadap integritas Souza bersimpul pada solidnya diri Obama sendiri. Jika kita melihat-lihat dokumen-dokumen Situation Room akan terdeteksi perbedaan signifikan misalnya antara Obama dengan Bush Jr. Foto Bush memimpin rapat diidentifikasi sebagai milik US Government, sementara pada Obama tetap ditulis nama fotografernya.

Apresiasi Obama terhadap orang-orang sekitar sudah dipelajari kalangan wartawan di masa kampanye. Kala itu tim Obama telah menghabiskan 20 juta dollar untuk memenangkan Texas tapi tetap saja kalah. Obama lantas mengumpulkan semua stafnya, membahas satu demi satu masalah dan kesalahan mereka, tapi tidak berusaha menyalahkan siapapun. Rapat evaluasi yang menegangkan itu ditutupnya dengan tawa.     

“The job of presidential photographer is all about access and trust,” ujar Souza. “And if you have both of those you’re going to make interesting, historic pictures.” Tentu tidak semua presiden seterbuka, seluwes Obama. Di jaman Richard Nixon fotografer istana harus menghadapi sensor, dan George W. Bush agaknya menyukai blocking. Souza boleh jadi akan menyingkirkan proposal Gedung Putih jika kekaryaannya harus mengikuti kosmetik si boss.

Foto “Situation Room” dipilih redaksi TIME sebagai salah satu Top 10 Photos of 2011. Souza yang sehari-hari memegang kamera Canon 5D Mark II setidaknya memberikan kita atmosfer yang intim dan hangat, yang jauh lebih kita butuhkan ketimbang pernyataan resmi yang kerapkali bikin hidup makin sumpek. 

Senin, 28 November 2011

I’m not Ready to Leave Myself


Akhir Maret 1996 tujuh rohaniwan diculik dari biara mereka di Desa Tibhirine di Pegunungan Atlas, Aljazair. Peristiwa ini seolah menandai babak akhir konflik batin mereka sejak para pekerja konstruksi asal Kroasia dibantai kaum fundamentalis, masing-masing dengan sayatan di sepanjang leher. 

Hingga kini tragedi yang dialami para rahib menyisakan misteri: Groupe Islamiste Armée (GIA) atau militer Aljazair pelakunya. 30 Mei 1996 seluruh korban penculikan akhirnya ditemukan, tanpa tubuh. Film Of Gods and Men (Xavier Beauvois, 2010) bukan summary atas rangkaian kisah “Assassination of the Monks of Tibhirine”, namun menampilkan layar laksana perziarahan yang hening tiap individu menyelami keyakinan dan ketakutannya.

Beberapa romo yang saya kenal agaknya memandang surga dalam perspektif geografis, letaknya di atas bumi, sehingga dengan merasa lebih dekat pada Tuhan posisinya menjadi lebih tinggi dari kaum awam dan tidak begitu gamblang merespon yang di bawah. Tapi Dom Christian de Chergé, Romo Christophe Lebreton, dan Luc Dochier sama sekali tidak sibuk menempatkan diri sebagai pusat perhatian umatnya. Bersama empat rahib lainnya mereka jauh dari sosialita karena tinggal di biara yang senyap di sudut pegunungan. Tak banyak umat Katolik yang reguler berkunjung, tidak ada rombongan wisata ziarah. Sehari-hari persentuhan terjadi dengan warga dusun yang Muslim.  

Christian dan kolega-koleganya yang berasal dari Prancis adalah bagian dari Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau Trappist yang mengikuti tata kehidupan monastik menurut aturan Santo Benediktus. Biara kaum Trappist lazim disebut pertapaan, sebagaimana Benediktus yang meninggalkan kehidupan duniawinya untuk bertapa, dan biasanya terletak di wilayah sunyi, seperti di perbukitan Rawaseneng, 14 kilometer di utara kota Temanggung, Jawa Tengah.

Selama duapuluh menit pertama Of Gods and Men mengunci penontonnya ke dalam sikap taat, diam diri, dan rendah hati untuk melekat ke keseharian komunitas biara yang hanya melakukan ibadat harian, mendengarkan bacaan rohani, dan bekerja. Kita “ditahan” cukup lama untuk turut berdoa bersama, bernyanyi tanpa iringan, ngepel, membaca buku di ruangan yang sama dengan posisi meja-kursi simetris. Bertani dan membuat selai pun dilakukan dengan atmosfer serupa. Hanya Bruder Luc yang paling “riuh”, karena tugasnya melayani warga yang butuh bantuan medis.   

Interaksi dengan warga terbangun dalam struktur bertetangga. Tidak atas-bawah. Tidak feodal. Saat ada bocah disunat mereka diundang, undangannya cukup diucapkan sambil jalan. Tak perlu surat formal yang ditujukan pada Abbas kepala biara. Dan mereka hadir tidak sebagai orang penting. Bahkan Christian dan Christophe ikut penek’an, memanjat ke teras yang lebih tinggi untuk menyambut si bocah dengan meriah, dan di ruangan utama larut dalam doa. Saat seorang gadis curhat soal cinta pada Luc, caranya duduk di sisi rahib berusia 80-an itu begitu rileks, sebab Luc tidak menampilkan diri sebagai sumber kebijakan.

Kedamaian di tengah mereka lambat-laun bergetar saat gerakan kelompok garis keras sudah tidak lagi berwujud ultimatum. Tahun 1993 GIA sudah menyerukan perintah agar orang-orang asing meninggalkan Aljazair dan kini korban jiwa berjatuhan. Terdengar santer isu penyerbuan biara cuma soal waktu. Tapi tawaran proteksi dari otoritas keamanan ditolak Christian. Dari titik inilah gemuruh batin masing-masing rahib tak mungkin lagi diredam. Seiring makin intensnya kerusuhan dan makin seriusnya ancaman, konflik personal maupun antar-individu di dalam biara kian tajam.

“Christian, kami memilihmu sebagai pemimpin di sini tidak untuk membuat keputusan sendiri,” tegur seorang rahib, menyayangkan keputusan atasannya menolak perlindungan.

“Saya ada di biara ini tidak untuk melakukan bunuh diri kolektif,” imbuh Christophe.

Mereka tidak sampai meninggalkan tugas sehari-hari tapi garis-garis wajah yang muram dan tertekan terlihat kian nyata. Tepat di malam Natal sekelompok pria bersenjata menerobos masuk. “Mana Paus? Di mana Paus? Siapa di antara kalian yang Paus?!”    

Sequence malam Natal ini termasuk bagian paling subtil. Beberapa rahib memilih bersembunyi, Christian menemui mereka dengan tubuh gemetar. Tapi ia berusaha tegas, “Ini rumah yang damai, senjata tidak boleh ikut masuk.”

“Senjata tidak terpisahkan,” sahut Ali Fayattia Si Komandan.  

“Baiklah, kalau begitu mari kita bicara di luar.” Christian mendahului, Fayattia mengikuti.

Fayattia meminta dokter biara ikut bersamanya karena ada anak buahnya yang terluka. Christian menolak karena Luc rapuh dan menderita asma. Lagipula jika Luc pergi siapa yang akan melayani warga desa yang sakit. Sang Komandan kemudian minta obat-obatan. “Stok obat kami terbatas, tiap hari ada seratus warga datang ke klinik,” sekali lagi Christian menolak.    

Christian tiba-tiba mengucapkan ayat Quran sebagai latar keputusannya. Ia tidak menyelesaikannya karena Fayattia yang melanjutkan dan melengkapinya. Sesudahnya, ditariknya pasukannya.

“Malam ini berbeda dengan malam-malam lainnya. Sekarang malam Natal,” ujar Christian saat pasukan baru menjauh beberapa langkah.

“Natal?” tanya Fayattia.

“Ya. Kami sedang merayakan kelahiran Sidna Aissa.”

“Jesus?”

Christian mengangguk. Fayattia mendekat lagi. “Minta maaf, saya tidak tahu,” ucapnya. Diulurkannya tangannya. Dijabatnya Christian. Tak lama berselang mereka lenyap dalam gelap.

Rahib-rahib kemudian berkumpul di satu ruangan. Luc menyuntikkan obat penenang ke lengan seorang rekannya dan rahib yang tadi ikut sembunyi mengantre di belakangnya; Amedee yang paling sepuh dan paling kurus melenturkan otot-otot Christophe yang termuda di antara mereka, tergagah, tapi yang paling gemetaran; dan Christian berjalan mondar-mandir, sesekali ditepuk-tepuknya bahu temannya. Inilah satu adegan master yang menyatukan kompleksitas kelegaan sesaat, kecemasan yang tidak terumuskan, dan keterbelahan Christian dalam keputusan yang telah diambilnya.

Meskipun Christian berhasil mengakhiri kunjungan Fayattia secara elegan namun pertempuran batiniah terus berkecamuk. “Kenapa tadi kita tidak berikan saja obat-obatan yang mereka minta?” tanya Amedee. “Seluruh permintaan mereka kita tolak, itu bisa diartikan deklarasi perang.”

Luc membela sikap Christian. “Kita memang jangan bernegosiasi, tiap hari mereka akan datang meminta hal lainnya.”

“Aku jadi biarawan untuk hidup. Bukan untuk disembelih,” Romo Celestine Ringeard mulai mendesakkan pertimbangan untuk meninggalkan biara.

“Takutnya Fayattia bukan satu-satunya pengambil keputusan. Bisa saja yang lain akan datang lagi besok,” ucap Paul Favre-Miville. “Mungkin kita harus pergi, pulang ke Prancis atau ke biara di negara lain yang aman. Masing-masing bisa membuat keputusan sendiri mengikuti nuraninya.”

“Pergi sama artinya melarikan diri. Gembala tidak akan meninggalkan domba-dombanya pada srigala,” tukas Jean-Pierre.

Masing-masing kemudian saling mengungkapkan keinginan hatinya. Pergi atau bertahan. Tapi tak seorangpun yakin dengan ucapannya sendiri.

Etienne Comar menyusun skenario Of Gods and Men selama dua tahun. Dalam proses risetnya Comar menemui salah satu rahib yang selamat. “Dia trauma, tidak bisa melupakan peristiwa itu, tapi menolak kembali ke Prancis,” ungkap Comar pada Jesper Rees dari Harian The Telegraphs. “Dia memilih tinggal di Marokko agar tidak terpisah dari apa yang sudah dilakukannya bersama komunitas Muslim di Afrika.”

Of Gods and Men mendeskripsikan harmoni dengan jernih. Melewati paruh film kian terlihat pencabiknya adalah konflik politik. Otoritas militer makin terbentuk wujudnya yang tidak tulus, tidak lebih baik dari kaum garis keras, mereka menghakimi Fayattia secara sadis dan membiarkan warga terhimpit perang kepentingan.

Omar pemuka agama desa Tibhirine bahkan tidak percaya pada tentara. “Desa ini tumbuh bersama kalian,” ujarnya pada Christian. “Kita saling melindungi. Tidak perlu militer.”

“Kami mungkin akan pergi …”

“Kenapa pergi?” Omar terkejut mendengarnya.

“Kami ini burung, kalian cabang pohon,” Seorang warga membuat perumpamaan. “Jika kalian pergi kami kehilangan tempat berpijak.”

Kekejian pemegang kekuasaan dan senjata kontras dengan adegan ini misalnya: mobil dinas biara yang butut mogok di kawasan sunyi berlatar perbukitan. Christian dan Jean-Pierre gagal memperbaikinya. Kemudian melintaslah serombongan ibu berkerudung bersama anak-anaknya. Mereka saling sapa, sembari terus mengobrol dan tertawa-tawa para wanita itu mengerubungi kap mesin yang terbuka. Entah apa yang mereka lakukan mereka meminta Christian menyalakan mesin .. Hidup! Dan mereka berpisah dengan guyub, penuh tawa dan sukacita, dan melanjutkan perjalanan. Sutradara Xavier Beauvois merekamnya dalam satu long shot, memberikan kita atmosfer yang sungguh bening.   

Para rahib stag. Christian sampai merasa perlu melakukan voting terbuka dan lisan untuk mencapai keteguhan bersama.

“Panggilanku di sini.”

I don’t see myself leaving.”

Leaving would lead nowhere. I’m not ready to leave myself.”

Last night I thought about leaving. I’m not comfortable with it.”

I’m staying.”

Let God set the table here. For everyone. Friends and enemies.”

Malam harinya, di tengah hujan lebat, Christian seorang diri di taman. Terasa seperti di Gethsemani ..

Para penghuni biara memperoleh keteguhan dan keberserahan yang sempurna. Mereka menenggak anggur dan mendengarkan komposisi balet Swan Lake karya Pyotr Tchaikovsky dari tape tua di sudut dapur. 

Menjelang kematiannya Christian menulis,In this THANK YOU, where from now on all is said about my life, I include you of course, friends of yesterday and today, and you as well, friend of the last minute, who knew not what you were doing .. And may we meet again .. Amen. Insha’Allah.” 

Sabtu, 12 November 2011

Merenungkan Green : The Kids Aren't Allright

Orangtua yang baik akan memberikan segala hal yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi waktu akan membatasi keterlibatan kita, tidak selamanya kita akan menemani mereka.
Baru beberapa tahun silam Al Gore menjabarkan setumpuk fakta bahwa bumi yang kita huni sudah bukan tempat berpijak yang kokoh. Penjual nasi kucing di selatan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta saja bisa menegaskannya, “Kapan musim hujan, kapan kemarau, sudah tidak karuan. Alamnya sudah hancur!” Dengan pondasi yang mulai labil macam itu lantas kita bisa nyangoni apa ke anak-anak?

Sinetron-sinetron konyol, guyonan-guyonan di televisi yang cuma patutnya ditertawakan pembuatnya sendiri, berita-berita kekerasan sekaligus kebuntuan yang makin hari makin terasa lumrah, serta soap opera Nazaruddin tak akan menyumbangkan gagasan adanya yang keliru dalam hidup kita. Meskipun keseharian kita begitu acak-adul kita akan sepakat saja dengan litani success story yang selalu dirilis kabinet Yudhoyono. Sehingga anak-anak itu pun akan baik-baik saja. The kids are all right.   

“Keadaan baik” menjadikan berita pembantaian sejumlah orangutan di Kalimantan Timur yang muncul akhir September 2011 tidak direspon sebagai malapetaka. Perburuan, penyiksaan dan kematiannya tidak disimak serius karena kita menolak untuk kaget bahwa kini orangutan mendapatkan cap hama. Penolakan ini nyesek, sebab kepada bangsa-bangsa di luar sana orangutan kita banggakan sebagai hak milik, nyatanya tidak pernah dirawat.

Malang betul nasibnya jika dibandingkan komodo yang saat ini diagungkan sebagai ciri keajaiban yang diwariskan di negeri ini. Atau, komodo nantinya juga akan disingkirkan?
Mendiamkan isu orangutan sebagai hama sama saja turut menyakiti dan memusnahkannya. Dari sisi ini saja kita sudah mereduksi kekayaan dan kebanggaan yang mestinya dimiliki anak-anak kita. Di sisi lain, andai benar orangutan bertransformasi sebagai pengganggu hidup manusia, bahwa mereka dibunuh dengan cara-cara penyiksaan yang begitu kreatif kejinya justru mengindikasikan adanya error dalam sikap kita. 

Apa yang sesungguhnya terjadi pada orangutan – dan pada kita orang Indonesia – dideskripsikan dengan gamblang oleh Patrick Rouxel melalui film Green. Dokumenter ini memperlihatkan bagaimana industri ciptaan manusia merampas hutan ciptaan-Nya; tapi meski Green bertutur dengan meyakinkan barangkali tidak banyak penonton yang meyakini perubahan. Sebab dengan kita menilai baik hidup kita dengan sendirinya itu menjadi bagian dari success story; jika sudah sukses, apa lagi yang harus diubah?   

Bagaimanapun Green amat layak diputar di sekolah-sekolah dan di ruang-ruang retret, apalagi pembuatnya mempersilakan diunduh gratis. Pertama, film sepanjang 48 menit itu gambar-gambarnya “menawan”, menyejukkan mata kemudian perlahan meluncur ke hati tanpa membuat penonton tersedak. Alurnya paralel tapi runut, mudah diikuti. Narasi memang tidak dibutuhkan sebab atmosfer dan landasan musiknya sudah menjadikan pemahaman kita lebih dari cukup. Menyaksikan Green sama “nyamannya” dengan mendengarkan Kitaro sambil merem.

Alasan kedua, kenapa film ini patut disaksikan anak-anak, karena sepatutnya anak-anak tidak hanya dikasih yang bagus-bagus dan indah-indah. Sebab limpahan kekayaan negeri ini sewaktu-waktu bisa menjelma tsunami dan erupsi. Pengetahuan akan membawa seorang anak jadi juara, tapi nilai sempurna dan hadiah belanja di mal tanpa dibarengi kerelaan melihat rapuhnya keadaan sekitar dan merumuskan bersama kontribusi yang bisa diberikan untuk turut memperbaikinya, justru akan menjauhkan anak dari kemandiriannya.

Misal banjir. Bencana yang satu ini bisa terjadi saat lautan tenang dan gunung lerem. Pemicunya hanya hujan. Tapi lahan hijau yang dipapras demi pusat belanja dan sungai yang dibiarkan jadi keranjang sampah mendorong air ikut-ikutan “rakus”. Sang juara bisa meraung-raung laptop dan televisi kesayangannya mendadak menyatu dalam kubangan sampah.

Green seekor orangutan betina. Kita melihatnya begitu film dimulai. Tubuhnya dibalut tas jinjing, terbaring lemah di antara kaki-kaki bersepatu karet di truk yang melesat di jalanan tanah yang gersang, dikelilingi lanskap tetumbuhan yang sama sekali tak rindang. Ia kemudian dibaringkan di tempat tidur di ruangan kantor yang bersih, diinfus, diselimuti handuk, dan berbantal Hello Kitty.  

Beberapa anak muda bergantian menjaga dan merawatnya. Digenggamnya pergelangan tangan gadis berstetoskop yang menemaninya dengan cemas. Garis-garis wajah Green labil dan lelah, terlihat seperti eyang buyut kita yang renta. Seekor cicak yang hidup natural – di balik jam dinding – mengingatkan Green pada kampungnya: hutan tropis serupa firdaus yang kini hanya indah di kalender.  

Alam yang hijau dan bening lambat-laun digantikan mesin-mesin dan pabrik yang sangar, bingar dan kaku. Tapi pembuat film ini memilih reflektif. Saat menggambarkan produk kertas sebagai salah satu simpul runtuhnya imperial orangutan, buku Thinkers of the Jungle: The Orangutan Report yang didisplay di toko buku yang berkelas dan temaram adalah bagian dari agen kehancuran itu. Sequence ini tampil dengan latar yang jazzy, terasa sebagai fase introspeksi yang lembut.

Sikap reflektif ini kiranya diambil agar Green tidak mandeg sebagai drama. Haru-biru tidak ada gunanya jika tidak mengukuhkan gagasan titik balik masing-masing penonton. Para pembuat film ini mencapai kematangannya sebagai pekerja media, bahwa kehidupan (dan perubahan) usai film lebih penting daripada film itu sendiri.

Rouxel begitu halus dan terukur saat bergerak keluar-masuk dari perkembangan Green yang batin dan raganya rusak ke keadaan aktual yang menyingkirkannya. Kita tidak merasa diceramahi tapi diajak mendengar batin sendiri.

“We are destroying this planet, we are destroying this world,” tegas Jean Kern, Board Member Global Exploration, dalam wawancara dengan Swasti Ayu dari Orca. “So we have to change the world, and young people can do it!”

“Sebelumnya saya belum punya pemikiran (menjaga keseimbangan alam), soalnya saya kan tidak tahu dan tidak ada pemberitahuan,” ucap Ghoziurfaiz siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta usai menyaksikan Green. “Sekarang saya bisa maksimal untuk melestarikan alam, buat anak-cucu kita.”

“People in Indonesia should be proud of orangutan because they are symbol of the rainforest and they are our closest relatives,” imbuh Jean. “Also people in Indonesia should be aware that we should save the rainforest, for our future generations.”

Anak adalah titipan, maka pada basisnya mereka peka dan tulus. Karena kaum dewasa kini agak susah untuk tulus maka tidak selayaknya kita menempatkan diri sebagai yang paling tahu mengenai kebutuhan mereka. Green bisa menjadi pusaka hati anak-anak, jangan dibelokkan jadi fabel.  

József in Wonderland

Foto : Adam Herdanto

József dilahirkan di satu desa mungil di negeri yang tak memiliki pantai bernama Hungaria. Meski tak pernah piknik demi memandang laut lepas dan membangun istana pasir bocah ini patut berbahagia karena orangtuanya  senantiasa mengajaknya menelusuri alam yang menaungi hidup mereka sehari-hari. József terbiasa mendaki bukit, menuruni lereng-lereng terjal berbatu, dan amat menikmati pengalaman mencari ikan di sungai.

Hungaria sendiri kabarnya adalah negeri idaman kupu-kupu Eropa. Terbayang József menjadi bagian integral suatu lanskap menyerupai wonderland  yang dibelah Sungai Danube dengan beragam mahluk penuh sukacita di dalamnya. Boleh jadi panorama ini adalah fragmen terpenting dalam kesehariannya sehingga József tidak memiliki alternatif lain menjelang masuk SMA: dipilihnya Toth Arpad High School di Debrecen karena biologi merupakan program utama sekolah itu.

Di masa remaja itulah József menggali pengalaman batin ke wilayah ilmiah. Wonderland miliknya tidak lagi sebatas romansa masa kecil tapi bertransformasi sebagai tantangan masa depan. Masa depan semesta, masa depan József sendiri. Dan jawabannya kukuh: dua kali ia memenangkan biology competition level nasional.

Sampai di sini József memiliki segalanya untuk menjadi ilmuwan di bidangnya. Tapi dasar anak muda, ia menolak untuk “serius-serius amat”, maka dipelajarilah fotografi. Hanya saja karena  biologi dan alam sekitar terlanjur merasuk ke jatidirinya ilmu fotonya pun akhirnya nyebur juga ke ranah wildlife.   

Foto : József Szentpéteri
Dragonflies are extremely difficult creatures to photograph. They can fly up to 40 miles an hour (64 kilometers an hour), and their body size is very small for such speed,” kisah József yang memotret capung untuk National Geographic. “Moreover, they don't just fly, fight, and hunt in the air, they also eat and mate. So I tried to cover as much mid-air activity as possible.

József yang resminya seorang biologist  bergelar Ph.D lebih dikenal sebagai fotojurnalis dan esais dengan spesialisasi alam bebas beserta segenap mahluk-mahluk mungil berterbangan di dalamnya. Dengan kecintaan dan minat eksplorasinya József Szentpéteri – kini lebih populer dipanggil Joe Petersburger – memenangkan sejumlah penghargaan utama foto jurnalistik dan alam di berbagai kompetisi internasional. Foto capungnya yang berjudul “Formosan Jewelwing Damselfly” misalnya, meraih titel Nature’s Best International Wildlife Photography Contest 2009 untuk kategori Small World Spectaculars.   

“One of my favorite sites is a little pond at Szigetvár, Hungary, home of a stable population of migrant hawkers (Aeschna mixta), a very attractive and fast species. It wasn't surprising that—most of the time—the territorial males disappeared from my viewfinder by the time I could focus on them. But sometimes they hovered in the same spot for several seconds. When I took a picture of one male, I shot a complete roll of it and still watched it through the viewfinder until the film rewound ...”

Karya-karya foto Petersburger akhirnya menjembatani interaksi kita dengan capung. Terlebih kebhinnekaan capung kini makin jarang terasakan. Di wilayah kota kadangkala muncul capung hijau, sesekali si coklat melintas, tapi yang beraneka wujud dan motif seolah tinggal dongeng.

Capung juga menjadi tantangan favorit anak-anak muda berkamera digital. Capung jarum dijadikan target penting para penggemar (dan pemilik) lensa makro. Bagi kalangan fotografer muda memotret capung  lebih seksi timbang “menangkap” lalat dan nyamuk meski sama mungilnya dan lebih gesit.  Pertama, dari sisi estetis capung sudah jaminan mutu; kedua, capung menghadirkan unsur petualangan. Foto capung yang ideal akan tercipta dengan nyemplung sungai. Makin basah, makin berlumpur, makin banyak pilihan keindahan capung yang diperolehnya, makin fotograferlah dia …

Foto : József Szentpéteri
Persoalannya kemudian, bagaimana karya-karya visual itu memaknai keterkaitan kita manusia dengan alam sekitar? Jika capung senantiasa menginspirasi karya seni, bagaimana karya itu sendiri menjadi inspirasi?   

Di tanahair capung sebagai inspirasi seni visual capung sudah berlangsung saat Pangeran Diponegoro menentang Kumpeni dan mengobarkan Perang Jawa (1825-1830). Para pembatik Garut yang tema karyanya lekat dengan kehidupan sehari-hari – seperti motif kupu-kupu, capung, dan bambu – saling berbagi pengaruh dengan pembatik Banyumas yang datang dalam rombongan pengungsi. Pengaruh dari Jawa Tengah utamanya dalam hal warna latar yang cenderung ke kuning yang cerah.  Sebaliknya batik Banyumas menjadi lebih giat mengadopsi budaya lokal sebagai motif.

Di tengah berkecamuknya perang yang dahsyat dan  membuat Kumpeni makin senewen dan keji, secara tak langsung batik bermotif capung, kupu-kupu dan habitat sekitarnya membawa spirit “life goes on” pada masyarakatnya. Perang dan hidup sengsara tak menjadikan mereka nglokro

Menggambar capung di lembaran kain tentu begitu rumit, butuh kecermatan dan konsentrasi yang tak boleh patah, tapi inilah sepenggal keindahan yang dimiliki manusia, yang pantas diapresiasi sesamanya. Jika urusannya sudah sampai ke apresiasi, opsi menyerah pada nasib terasa kekanakan.   

Kini di kehidupan yang kian gemerlap namun arusnya cenderung searah ini kita akan sering berjumpa dengan fotografer-fotografer muda yang gemar membidik capung untuk gagah-gagahan, gaya-gayaan dan facebook-an.  Berbeda dengan József yang selain populer sebagai pewarta animal behavior juga berkarya sebagai pendekar konservasi.  

Jika ditelusuri basisnya, sebelum punya skill memotret, sebelum mudeng biologi, József sudah lebih dulu merasakan dan memahami arti capung bagi manusia. Ayahnya pede membawanya secara rutin naik ke bukit, menerobos hutan, terjun ke sungai, karena cara mereka hidup selaras dengan alam. Alam dan manusia saling berbagi dan menjaga.  Saat menapaki fase hidup selanjutnya Joe tidak ingin kita kehilangan itu semua. 

Ia belajar memotret sama intensnya dengan ilmu biologinya. Karya-karyanya dihormati bukan didasari keindahan semata tapi lebih karena tulus dan total dalam berbagi. “Formosan Jewelwing Damselfly” yang dimuat di National Geographic Indonesia edisi April 2006 memperlihatkan kedekatannya dengan si capung. Bukan dekat secara optik maupun digital zoom, namun lebih personal, karena capung betina yang baru saja menyimpan telurnya di bawah permukaan sungai  itu merentangkan sayap-sayapnya di hadapan Joe sembari menatapnya.  

Foto : József Szentpéteri
Foto lainnya yang mengabadikan capung clubtail usai berganti kulit menunjukkan “sisi kelam” mereka. Empat ekor clubtail yang hinggap di batang pohon itu terlihat senada, keras dan sangar. Di caption tertulis, “Beberapa spesies clubtail melakukan perkawinan dengan  kekerasan. Organ-organ penjepit untuk kopulasi milik capung jantan – mirip catok – acapkali menembus kepala capung betina.”   

Capung yang indah itu ternyata bisa nakal juga? Hanya pada orang seperti József mereka selalu jujur!

*) Dipresentasikan dalam peluncuran buku dan talk show ”Pelestarian Odonata sebagai Pusaka Alam”, di Malang 23 Juli 2011, diselenggarakan oleh Indonesia Dragonfly Society  

Jumat, 11 November 2011

Jalan untuk Kembali

Foto : James Nachtwey

Ada begitu banyak anak-anak di Afghanistan, tapi hanya secuil masa kanak-kanak di sana ..

Jalur sutra melintasi Afghanistan, dan Provinsi Bamiyan merupakan “jembatan” yang menghubungkan pusat-pusat kebudayaan dan perdagangan jagatraya: Cina, India, dan Kekaisaran Romawi. Sejak abad ke-5 situs-situs Budha berukuran raksasa menjadi identitas Bamiyan – dan Afghanistan. Afghanistan yang kini dikategorikan salah satu negeri termiskin pernah menggoda Alexander Agung dan Genghis Khan. Di Bamiyan kaum Mongol meninggalkan jejaknya: etnis Hazara. Orang-orang Hazara memiliki ciri-ciri orang Mongolia, bermata sipit, berwajah mirip orang Cina.

Etnis Hazara adalah penganut Muslim Syiah, jumlahnya tak lebih dari 9% dari keseluruhan penduduk Afghanistan. Tapi anak Afghan bernama Amir tidak pernah mengenal apapun mengenai kaum Hazara dari buku-buku sekolah dan tidak seorang gurupun membahasnya. Assef, seorang anak lain, menjelaskan situasi ini, “Afghanistan adalah negeri bangsa Pashtun. Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan murni.” Bagi Assef, Hazara mengotori negeri dan darah Afghanistan.

Amir maupun Assef beretnis Pashtun. Penindasan orang Pashtun terhadap kaum Hazara tercatat dalam sejarah yang seolah tak memiliki bab akhir. Pada abad ke-19 para Hazara mencoba melawan tapi kaum Pashtun menghentikan perlawanan mereka dengan kekerasan yang tidak terkatakan.”

Dari buku sejarah tua berdebu milik mendiang ibunya Amir mengetahui pembantaian itu, rumah mereka dibakar, ditendang dari tanah mereka, dan perempuan-perempuannya direndahkan. Assef tak pernah ingin memangkas kebenciannya, ia menumbuhkan pemujaan terhadap Hitler dan terang-terangan mengungkapkan kekagumannya pada apa yang disebut ethnic cleansing.

Tapi Amir tinggal di pekarangan yang sama dengan Hassan yang Hazara. Baba – begitu panggilan Amir pada ayahnya – seorang laki-laki Afghan terhormat. Ia cerdas, berwawasan dan lebih terbuka ketimbang kaumnya, meskipun dalam beberapa hal tetap dikotomis tapi jauh dari kolot. Kediamannya merupakan rumah terindah di distrik Wazir Akbar Khan, kompleks mewah di sisi utara Kabul. Ayah Baba, kakek Amir, berteman dengan Raja Nadir Shah. Dan Baba menikahi seorang wanita yang keindahannya disempurnakan intelektualitasnya.

Sementara Ali, ayah Hassan, adalah yatim-piatu yang ditampung kakek Amir setelah kedua orangtuanya tewas digasak pengemudi teler. Ali dan Baba tumbuh bersama. Saat dewasa Ali melayani keluarga Baba hingga 18 tahun. Kedekatan Baba dan Ali melatari hubungan Amir dan Hassan. Namun keterikatan dua bocah itu mengandung dimensi lebih dalam: sama-sama kehilangan ibu dan menyusu dari payudara yang sama.

Mereka bersahabat tapi juga berjarak. Amir anak majikan dan Hassan anak pelayan; Amir Pashtun, Hassan Hazara; Amir Muslim Sunni, Hassan Syiah. Meski hanya beberapa langkah dari pintu rumahnya Amir tidak cukup terbiasa mengunjungi rumah Hassan, sebuah pondok kecil berdinding tanah liat.

Ali dan Hassan memiliki tanda fisik yang seolah menggenapkan mereka sebagai warga kelas dua. Ali pincang karena polio, Hassan sumbing. Sebagaimana orang Afghan yang gemar melemparkan joke seringkali ayah-anak ini dijadikan lelucon. Tapi mereka berdua menjalani hidup tanpa niatan mengguncang tatanan. Hal paling menonjol dari mereka tapi pernah tidak ditonjol-tonjolkan adalah kesetiaan dan penyerahan diri.

Foto : James Nachtwey
The Kite Runner adalah kisah pengembaraan yang panjang dua bocah di tengah carut-marut kehidupan yang tidak pernah dirancangnya. Di Afghan semua itu terjadi tanpa tedeng aling-aling: Baba laki-laki yang berdaya tapi satu gerakan matanya bisa berarti memuluskan terjangan peluru Russia di dadanya. Kenyataannya memiliki seorang ayah di Afghanistan adalah kemewahan.

Novel ini bukan soal dampak invasi atau ketidakberdayaan di bawah kaki orang lain. Bukan cerita soal proses titik-balik seperti Ahmed Shah Massoud yang meninggalkan sekolah untuk menjungkirbalikkan keperkasaan Soviet dengan taktik gerilya dan nantinya menjadi hantu pegunungan yang menyebar teror pada kaum Taliban. Khaled Hosseini, penulisnya, membawa kita menerobos permukaan dan menelusuri lembah-lembah kepedihan Afghanistan. Amir digasak pergolakan di sekellilingnya dan di dalam dirinya sendiri.

Beberapa peristiwa yang terjadi sebelum perang menjerumuskan Amir pada kegamangan dan ketakutan yang abadi. Amir tidak seperti Baba yang independen dan kokoh. Amir selalu bergetar menghadapi Assef yang mampu mencuilkan kuping anak lain. Saat Assef sungguh-sungguh mengancamnya justru Hassan yang menjadi tameng. Hassan yang Hazara. Hassan orang terdekatnya yang tak pernah benar-benar dianggapnya teman (“Dia bukan temanku! Dia pelayanku!” teriaknya dalam batin). Hassan yang tidak tega menimpuk anjing tapi akan melakukannya jika Amir menginginkannya.

Hassan mengarahkan katapel pada Assef dan Assef tahu bidikannya tidak akan luput. Assef mundur, Amir selamat. Tapi beberapa saat kemudian Assef membalas Hassan dengan kekejian yang tidak terbayangkan. Amir melihatnya – dan mengambil pilihan yang akan menjadi mimpi kelam sepanjang hidupnya. Keputusan ini sesederhana mengambil jalan ke kiri atau ke kanan namun konsekuensinya tidak pernah sederhana. Pilihan adalah pijakan. Langkah berikutnya menyerupai efek domino. Inilah bagian novel paling miris, paling menyesakkan bagi pembacanya. Simpel, karena sebagian besar dari kita akan melakukan hal yang sama dengan Amir.

Foto : Alexandra Boulat
Sejarah melarikan Amir ke Amerika. Ke negeri yang mengkhianati Afghanistan.
Demi memenangkan Perang Dingin Jimmy Carter dilanjutkan Ronald Reagan menyemangati mujahidin dengan hibah yang nilainya mencapai tigajuta dollar. Dana itu tidak semuanya diterima pejuang Afghan. Toh mujahidin tidak lelah-lelahnya melesakkan hantaman ke pasukan Soviet. Soviet akhirnya limbung dan keluar dengan kepala tertunduk.

Tembok Berlin kemudian runtuh, Eropa Timur lepas dari cengkeraman Moskwa, Soviet terburai. “Afghanistan adalah alasan jatuhnya komunisme!” tandas Ahmed Shah Massoud. Wall Street Journal menyebut Massoud sebagai “Orang Afghan yang memenangkan Perang Dingin”.

Afghanistan merayakan kejayaannya. Tapi kedamaian tidak juga berpihak. Kelompok politik yang didukung Pakistan menjadi duri dalam daging. Anak-anak muda radikal yang mengklaim diri sebagai pembebas dengan menerapkan hukum secara ekstrem memaksa Massoud melepas kursi Menteri Pertahanan.

Didukung sukarelawan yang merupakan kombinasi gerilyawan dan petani si Singa dari Panjshir itu mengaum dari celah-celah pengunungan. Kekuatan baru menguasai Kabul dan tiba-tiba menjadi oportunis yang menakutkan. Awan hitam kembali ke Afghanistan tapi Amerika tidak berhasrat lagi menyingkirkannya.

Amir di San Francisco dan Hassan telah pulang ke Bamiyan saat situs-situs Budha yang dianggap berhala oleh Taliban dijadikan serbuk pasir oleh pasukan tank dan gempuran dinamit. Musik dan televisi ditabukan. Tidak ada lagi kompetisi layang-layang yang selama ini menjiwai anak-anak Afghan dan pernah membawa Amir bersama Hassan mencapai puncak kebahagiaan seorang bocah.

Tubuh tanpa nyawa yang tergantung di tengah pemukiman adalah pemandangan sehari-hari. Penguburan jadi rutinitas. Kaum terpelajar dan akademisi mengemis dengan tubuh sebau bangkai. Perempuan terkunci di rumah mereka sendiri, tidak boleh sekolah, tidak boleh sakit karena layanan medis untuk mereka dilarang. Anak-anak bermain dengan perut merintih dan keesokan harinya ada di antara mereka yang dikuburkan. Seorang bayi lahir, tapi hanya beberapa jam kemudian sudah menjelma malaikat yang gamang.

Amir telah menjadi laki-laki bermartabat di Amerika. Ia menikahi putri Jenderal Iqbal Taheri yang terhormat. Ia kini bagian dari Amerika. Massoud berteriak-teriak bahwa masalah di Afghanistan hanyalah simpul dari masalah global yang juga akan menerjang Amerika – tapi Rambo yang dulu bersuara lantang dengan bibir menceng kini juga tuli. Amir malah sudah lebih dulu menutup kupingnya, membutakan hatinya.

Rahim Khan, laki-laki Pakistan partner bisnis dan sahabat Baba – salah satu karakter paling menarik dalam novel ini – berdiri persis di depan pintu batin Amir. “Ada jalan untuk kembali menuju kebaikan,” ketuknya.

Amir tinggal melangkah ke seberang untuk melakukan penebusan. Di sana ada Assef, ada Farid yang labil, tapi juga ada Wahid yang senantiasa teguh dan teduh. Di sana pertandingan sepakbola diselingi eksekusi rajam. Ada direktur panti asuhan yang menjual anak-anak asuhnya untuk membelikan makanan bagi anak-anak lainnya. Di sanalah Hassan selalu bercerita tentang Amir pada Sohrab putranya.

The Kite Runner kaya dan detail. Suatu “emotional journey” yang sentuhannya sedemikian mendalam. Sebagian kecil dari novel ini memang berkembang seperti alur film Amerika, bergerak cepat dan setiap elemen mengandung kejutan. Sebagian kecil lainnya terombang-ambing dalam usaha penebusan dan pemahaman. Tapi pada dasarnya novel pertama dr. Khaled Hosseini ini telah memperlihatkan “indahnya kehidupan di sebuah negara kacau-balau”.

Massoud yang rajin membaca Quran dan buku-buku puisi akhirnya gugur oleh bom bunuhdiri yang tricky. Dua hari kemudian, 11 September 2001, Amerika dilumpuhkan terjangan teroris. Tapi Hassan dan Amir telah memberikan aksentuasi yang kita butuhkan dalam kehidupan yang ringkih ini.

Foto : James Nachtwey