Sabtu, 12 November 2011

József in Wonderland

Foto : Adam Herdanto

József dilahirkan di satu desa mungil di negeri yang tak memiliki pantai bernama Hungaria. Meski tak pernah piknik demi memandang laut lepas dan membangun istana pasir bocah ini patut berbahagia karena orangtuanya  senantiasa mengajaknya menelusuri alam yang menaungi hidup mereka sehari-hari. József terbiasa mendaki bukit, menuruni lereng-lereng terjal berbatu, dan amat menikmati pengalaman mencari ikan di sungai.

Hungaria sendiri kabarnya adalah negeri idaman kupu-kupu Eropa. Terbayang József menjadi bagian integral suatu lanskap menyerupai wonderland  yang dibelah Sungai Danube dengan beragam mahluk penuh sukacita di dalamnya. Boleh jadi panorama ini adalah fragmen terpenting dalam kesehariannya sehingga József tidak memiliki alternatif lain menjelang masuk SMA: dipilihnya Toth Arpad High School di Debrecen karena biologi merupakan program utama sekolah itu.

Di masa remaja itulah József menggali pengalaman batin ke wilayah ilmiah. Wonderland miliknya tidak lagi sebatas romansa masa kecil tapi bertransformasi sebagai tantangan masa depan. Masa depan semesta, masa depan József sendiri. Dan jawabannya kukuh: dua kali ia memenangkan biology competition level nasional.

Sampai di sini József memiliki segalanya untuk menjadi ilmuwan di bidangnya. Tapi dasar anak muda, ia menolak untuk “serius-serius amat”, maka dipelajarilah fotografi. Hanya saja karena  biologi dan alam sekitar terlanjur merasuk ke jatidirinya ilmu fotonya pun akhirnya nyebur juga ke ranah wildlife.   

Foto : József Szentpéteri
Dragonflies are extremely difficult creatures to photograph. They can fly up to 40 miles an hour (64 kilometers an hour), and their body size is very small for such speed,” kisah József yang memotret capung untuk National Geographic. “Moreover, they don't just fly, fight, and hunt in the air, they also eat and mate. So I tried to cover as much mid-air activity as possible.

József yang resminya seorang biologist  bergelar Ph.D lebih dikenal sebagai fotojurnalis dan esais dengan spesialisasi alam bebas beserta segenap mahluk-mahluk mungil berterbangan di dalamnya. Dengan kecintaan dan minat eksplorasinya József Szentpéteri – kini lebih populer dipanggil Joe Petersburger – memenangkan sejumlah penghargaan utama foto jurnalistik dan alam di berbagai kompetisi internasional. Foto capungnya yang berjudul “Formosan Jewelwing Damselfly” misalnya, meraih titel Nature’s Best International Wildlife Photography Contest 2009 untuk kategori Small World Spectaculars.   

“One of my favorite sites is a little pond at Szigetvár, Hungary, home of a stable population of migrant hawkers (Aeschna mixta), a very attractive and fast species. It wasn't surprising that—most of the time—the territorial males disappeared from my viewfinder by the time I could focus on them. But sometimes they hovered in the same spot for several seconds. When I took a picture of one male, I shot a complete roll of it and still watched it through the viewfinder until the film rewound ...”

Karya-karya foto Petersburger akhirnya menjembatani interaksi kita dengan capung. Terlebih kebhinnekaan capung kini makin jarang terasakan. Di wilayah kota kadangkala muncul capung hijau, sesekali si coklat melintas, tapi yang beraneka wujud dan motif seolah tinggal dongeng.

Capung juga menjadi tantangan favorit anak-anak muda berkamera digital. Capung jarum dijadikan target penting para penggemar (dan pemilik) lensa makro. Bagi kalangan fotografer muda memotret capung  lebih seksi timbang “menangkap” lalat dan nyamuk meski sama mungilnya dan lebih gesit.  Pertama, dari sisi estetis capung sudah jaminan mutu; kedua, capung menghadirkan unsur petualangan. Foto capung yang ideal akan tercipta dengan nyemplung sungai. Makin basah, makin berlumpur, makin banyak pilihan keindahan capung yang diperolehnya, makin fotograferlah dia …

Foto : József Szentpéteri
Persoalannya kemudian, bagaimana karya-karya visual itu memaknai keterkaitan kita manusia dengan alam sekitar? Jika capung senantiasa menginspirasi karya seni, bagaimana karya itu sendiri menjadi inspirasi?   

Di tanahair capung sebagai inspirasi seni visual capung sudah berlangsung saat Pangeran Diponegoro menentang Kumpeni dan mengobarkan Perang Jawa (1825-1830). Para pembatik Garut yang tema karyanya lekat dengan kehidupan sehari-hari – seperti motif kupu-kupu, capung, dan bambu – saling berbagi pengaruh dengan pembatik Banyumas yang datang dalam rombongan pengungsi. Pengaruh dari Jawa Tengah utamanya dalam hal warna latar yang cenderung ke kuning yang cerah.  Sebaliknya batik Banyumas menjadi lebih giat mengadopsi budaya lokal sebagai motif.

Di tengah berkecamuknya perang yang dahsyat dan  membuat Kumpeni makin senewen dan keji, secara tak langsung batik bermotif capung, kupu-kupu dan habitat sekitarnya membawa spirit “life goes on” pada masyarakatnya. Perang dan hidup sengsara tak menjadikan mereka nglokro

Menggambar capung di lembaran kain tentu begitu rumit, butuh kecermatan dan konsentrasi yang tak boleh patah, tapi inilah sepenggal keindahan yang dimiliki manusia, yang pantas diapresiasi sesamanya. Jika urusannya sudah sampai ke apresiasi, opsi menyerah pada nasib terasa kekanakan.   

Kini di kehidupan yang kian gemerlap namun arusnya cenderung searah ini kita akan sering berjumpa dengan fotografer-fotografer muda yang gemar membidik capung untuk gagah-gagahan, gaya-gayaan dan facebook-an.  Berbeda dengan József yang selain populer sebagai pewarta animal behavior juga berkarya sebagai pendekar konservasi.  

Jika ditelusuri basisnya, sebelum punya skill memotret, sebelum mudeng biologi, József sudah lebih dulu merasakan dan memahami arti capung bagi manusia. Ayahnya pede membawanya secara rutin naik ke bukit, menerobos hutan, terjun ke sungai, karena cara mereka hidup selaras dengan alam. Alam dan manusia saling berbagi dan menjaga.  Saat menapaki fase hidup selanjutnya Joe tidak ingin kita kehilangan itu semua. 

Ia belajar memotret sama intensnya dengan ilmu biologinya. Karya-karyanya dihormati bukan didasari keindahan semata tapi lebih karena tulus dan total dalam berbagi. “Formosan Jewelwing Damselfly” yang dimuat di National Geographic Indonesia edisi April 2006 memperlihatkan kedekatannya dengan si capung. Bukan dekat secara optik maupun digital zoom, namun lebih personal, karena capung betina yang baru saja menyimpan telurnya di bawah permukaan sungai  itu merentangkan sayap-sayapnya di hadapan Joe sembari menatapnya.  

Foto : József Szentpéteri
Foto lainnya yang mengabadikan capung clubtail usai berganti kulit menunjukkan “sisi kelam” mereka. Empat ekor clubtail yang hinggap di batang pohon itu terlihat senada, keras dan sangar. Di caption tertulis, “Beberapa spesies clubtail melakukan perkawinan dengan  kekerasan. Organ-organ penjepit untuk kopulasi milik capung jantan – mirip catok – acapkali menembus kepala capung betina.”   

Capung yang indah itu ternyata bisa nakal juga? Hanya pada orang seperti József mereka selalu jujur!

*) Dipresentasikan dalam peluncuran buku dan talk show ”Pelestarian Odonata sebagai Pusaka Alam”, di Malang 23 Juli 2011, diselenggarakan oleh Indonesia Dragonfly Society