Sabtu, 12 November 2011

Merenungkan Green : The Kids Aren't Allright

Orangtua yang baik akan memberikan segala hal yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi waktu akan membatasi keterlibatan kita, tidak selamanya kita akan menemani mereka.
Baru beberapa tahun silam Al Gore menjabarkan setumpuk fakta bahwa bumi yang kita huni sudah bukan tempat berpijak yang kokoh. Penjual nasi kucing di selatan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta saja bisa menegaskannya, “Kapan musim hujan, kapan kemarau, sudah tidak karuan. Alamnya sudah hancur!” Dengan pondasi yang mulai labil macam itu lantas kita bisa nyangoni apa ke anak-anak?

Sinetron-sinetron konyol, guyonan-guyonan di televisi yang cuma patutnya ditertawakan pembuatnya sendiri, berita-berita kekerasan sekaligus kebuntuan yang makin hari makin terasa lumrah, serta soap opera Nazaruddin tak akan menyumbangkan gagasan adanya yang keliru dalam hidup kita. Meskipun keseharian kita begitu acak-adul kita akan sepakat saja dengan litani success story yang selalu dirilis kabinet Yudhoyono. Sehingga anak-anak itu pun akan baik-baik saja. The kids are all right.   

“Keadaan baik” menjadikan berita pembantaian sejumlah orangutan di Kalimantan Timur yang muncul akhir September 2011 tidak direspon sebagai malapetaka. Perburuan, penyiksaan dan kematiannya tidak disimak serius karena kita menolak untuk kaget bahwa kini orangutan mendapatkan cap hama. Penolakan ini nyesek, sebab kepada bangsa-bangsa di luar sana orangutan kita banggakan sebagai hak milik, nyatanya tidak pernah dirawat.

Malang betul nasibnya jika dibandingkan komodo yang saat ini diagungkan sebagai ciri keajaiban yang diwariskan di negeri ini. Atau, komodo nantinya juga akan disingkirkan?
Mendiamkan isu orangutan sebagai hama sama saja turut menyakiti dan memusnahkannya. Dari sisi ini saja kita sudah mereduksi kekayaan dan kebanggaan yang mestinya dimiliki anak-anak kita. Di sisi lain, andai benar orangutan bertransformasi sebagai pengganggu hidup manusia, bahwa mereka dibunuh dengan cara-cara penyiksaan yang begitu kreatif kejinya justru mengindikasikan adanya error dalam sikap kita. 

Apa yang sesungguhnya terjadi pada orangutan – dan pada kita orang Indonesia – dideskripsikan dengan gamblang oleh Patrick Rouxel melalui film Green. Dokumenter ini memperlihatkan bagaimana industri ciptaan manusia merampas hutan ciptaan-Nya; tapi meski Green bertutur dengan meyakinkan barangkali tidak banyak penonton yang meyakini perubahan. Sebab dengan kita menilai baik hidup kita dengan sendirinya itu menjadi bagian dari success story; jika sudah sukses, apa lagi yang harus diubah?   

Bagaimanapun Green amat layak diputar di sekolah-sekolah dan di ruang-ruang retret, apalagi pembuatnya mempersilakan diunduh gratis. Pertama, film sepanjang 48 menit itu gambar-gambarnya “menawan”, menyejukkan mata kemudian perlahan meluncur ke hati tanpa membuat penonton tersedak. Alurnya paralel tapi runut, mudah diikuti. Narasi memang tidak dibutuhkan sebab atmosfer dan landasan musiknya sudah menjadikan pemahaman kita lebih dari cukup. Menyaksikan Green sama “nyamannya” dengan mendengarkan Kitaro sambil merem.

Alasan kedua, kenapa film ini patut disaksikan anak-anak, karena sepatutnya anak-anak tidak hanya dikasih yang bagus-bagus dan indah-indah. Sebab limpahan kekayaan negeri ini sewaktu-waktu bisa menjelma tsunami dan erupsi. Pengetahuan akan membawa seorang anak jadi juara, tapi nilai sempurna dan hadiah belanja di mal tanpa dibarengi kerelaan melihat rapuhnya keadaan sekitar dan merumuskan bersama kontribusi yang bisa diberikan untuk turut memperbaikinya, justru akan menjauhkan anak dari kemandiriannya.

Misal banjir. Bencana yang satu ini bisa terjadi saat lautan tenang dan gunung lerem. Pemicunya hanya hujan. Tapi lahan hijau yang dipapras demi pusat belanja dan sungai yang dibiarkan jadi keranjang sampah mendorong air ikut-ikutan “rakus”. Sang juara bisa meraung-raung laptop dan televisi kesayangannya mendadak menyatu dalam kubangan sampah.

Green seekor orangutan betina. Kita melihatnya begitu film dimulai. Tubuhnya dibalut tas jinjing, terbaring lemah di antara kaki-kaki bersepatu karet di truk yang melesat di jalanan tanah yang gersang, dikelilingi lanskap tetumbuhan yang sama sekali tak rindang. Ia kemudian dibaringkan di tempat tidur di ruangan kantor yang bersih, diinfus, diselimuti handuk, dan berbantal Hello Kitty.  

Beberapa anak muda bergantian menjaga dan merawatnya. Digenggamnya pergelangan tangan gadis berstetoskop yang menemaninya dengan cemas. Garis-garis wajah Green labil dan lelah, terlihat seperti eyang buyut kita yang renta. Seekor cicak yang hidup natural – di balik jam dinding – mengingatkan Green pada kampungnya: hutan tropis serupa firdaus yang kini hanya indah di kalender.  

Alam yang hijau dan bening lambat-laun digantikan mesin-mesin dan pabrik yang sangar, bingar dan kaku. Tapi pembuat film ini memilih reflektif. Saat menggambarkan produk kertas sebagai salah satu simpul runtuhnya imperial orangutan, buku Thinkers of the Jungle: The Orangutan Report yang didisplay di toko buku yang berkelas dan temaram adalah bagian dari agen kehancuran itu. Sequence ini tampil dengan latar yang jazzy, terasa sebagai fase introspeksi yang lembut.

Sikap reflektif ini kiranya diambil agar Green tidak mandeg sebagai drama. Haru-biru tidak ada gunanya jika tidak mengukuhkan gagasan titik balik masing-masing penonton. Para pembuat film ini mencapai kematangannya sebagai pekerja media, bahwa kehidupan (dan perubahan) usai film lebih penting daripada film itu sendiri.

Rouxel begitu halus dan terukur saat bergerak keluar-masuk dari perkembangan Green yang batin dan raganya rusak ke keadaan aktual yang menyingkirkannya. Kita tidak merasa diceramahi tapi diajak mendengar batin sendiri.

“We are destroying this planet, we are destroying this world,” tegas Jean Kern, Board Member Global Exploration, dalam wawancara dengan Swasti Ayu dari Orca. “So we have to change the world, and young people can do it!”

“Sebelumnya saya belum punya pemikiran (menjaga keseimbangan alam), soalnya saya kan tidak tahu dan tidak ada pemberitahuan,” ucap Ghoziurfaiz siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta usai menyaksikan Green. “Sekarang saya bisa maksimal untuk melestarikan alam, buat anak-cucu kita.”

“People in Indonesia should be proud of orangutan because they are symbol of the rainforest and they are our closest relatives,” imbuh Jean. “Also people in Indonesia should be aware that we should save the rainforest, for our future generations.”

Anak adalah titipan, maka pada basisnya mereka peka dan tulus. Karena kaum dewasa kini agak susah untuk tulus maka tidak selayaknya kita menempatkan diri sebagai yang paling tahu mengenai kebutuhan mereka. Green bisa menjadi pusaka hati anak-anak, jangan dibelokkan jadi fabel.