Senin, 28 November 2011

I’m not Ready to Leave Myself


Akhir Maret 1996 tujuh rohaniwan diculik dari biara mereka di Desa Tibhirine di Pegunungan Atlas, Aljazair. Peristiwa ini seolah menandai babak akhir konflik batin mereka sejak para pekerja konstruksi asal Kroasia dibantai kaum fundamentalis, masing-masing dengan sayatan di sepanjang leher. 

Hingga kini tragedi yang dialami para rahib menyisakan misteri: Groupe Islamiste Armée (GIA) atau militer Aljazair pelakunya. 30 Mei 1996 seluruh korban penculikan akhirnya ditemukan, tanpa tubuh. Film Of Gods and Men (Xavier Beauvois, 2010) bukan summary atas rangkaian kisah “Assassination of the Monks of Tibhirine”, namun menampilkan layar laksana perziarahan yang hening tiap individu menyelami keyakinan dan ketakutannya.

Beberapa romo yang saya kenal agaknya memandang surga dalam perspektif geografis, letaknya di atas bumi, sehingga dengan merasa lebih dekat pada Tuhan posisinya menjadi lebih tinggi dari kaum awam dan tidak begitu gamblang merespon yang di bawah. Tapi Dom Christian de Chergé, Romo Christophe Lebreton, dan Luc Dochier sama sekali tidak sibuk menempatkan diri sebagai pusat perhatian umatnya. Bersama empat rahib lainnya mereka jauh dari sosialita karena tinggal di biara yang senyap di sudut pegunungan. Tak banyak umat Katolik yang reguler berkunjung, tidak ada rombongan wisata ziarah. Sehari-hari persentuhan terjadi dengan warga dusun yang Muslim.  

Christian dan kolega-koleganya yang berasal dari Prancis adalah bagian dari Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau Trappist yang mengikuti tata kehidupan monastik menurut aturan Santo Benediktus. Biara kaum Trappist lazim disebut pertapaan, sebagaimana Benediktus yang meninggalkan kehidupan duniawinya untuk bertapa, dan biasanya terletak di wilayah sunyi, seperti di perbukitan Rawaseneng, 14 kilometer di utara kota Temanggung, Jawa Tengah.

Selama duapuluh menit pertama Of Gods and Men mengunci penontonnya ke dalam sikap taat, diam diri, dan rendah hati untuk melekat ke keseharian komunitas biara yang hanya melakukan ibadat harian, mendengarkan bacaan rohani, dan bekerja. Kita “ditahan” cukup lama untuk turut berdoa bersama, bernyanyi tanpa iringan, ngepel, membaca buku di ruangan yang sama dengan posisi meja-kursi simetris. Bertani dan membuat selai pun dilakukan dengan atmosfer serupa. Hanya Bruder Luc yang paling “riuh”, karena tugasnya melayani warga yang butuh bantuan medis.   

Interaksi dengan warga terbangun dalam struktur bertetangga. Tidak atas-bawah. Tidak feodal. Saat ada bocah disunat mereka diundang, undangannya cukup diucapkan sambil jalan. Tak perlu surat formal yang ditujukan pada Abbas kepala biara. Dan mereka hadir tidak sebagai orang penting. Bahkan Christian dan Christophe ikut penek’an, memanjat ke teras yang lebih tinggi untuk menyambut si bocah dengan meriah, dan di ruangan utama larut dalam doa. Saat seorang gadis curhat soal cinta pada Luc, caranya duduk di sisi rahib berusia 80-an itu begitu rileks, sebab Luc tidak menampilkan diri sebagai sumber kebijakan.

Kedamaian di tengah mereka lambat-laun bergetar saat gerakan kelompok garis keras sudah tidak lagi berwujud ultimatum. Tahun 1993 GIA sudah menyerukan perintah agar orang-orang asing meninggalkan Aljazair dan kini korban jiwa berjatuhan. Terdengar santer isu penyerbuan biara cuma soal waktu. Tapi tawaran proteksi dari otoritas keamanan ditolak Christian. Dari titik inilah gemuruh batin masing-masing rahib tak mungkin lagi diredam. Seiring makin intensnya kerusuhan dan makin seriusnya ancaman, konflik personal maupun antar-individu di dalam biara kian tajam.

“Christian, kami memilihmu sebagai pemimpin di sini tidak untuk membuat keputusan sendiri,” tegur seorang rahib, menyayangkan keputusan atasannya menolak perlindungan.

“Saya ada di biara ini tidak untuk melakukan bunuh diri kolektif,” imbuh Christophe.

Mereka tidak sampai meninggalkan tugas sehari-hari tapi garis-garis wajah yang muram dan tertekan terlihat kian nyata. Tepat di malam Natal sekelompok pria bersenjata menerobos masuk. “Mana Paus? Di mana Paus? Siapa di antara kalian yang Paus?!”    

Sequence malam Natal ini termasuk bagian paling subtil. Beberapa rahib memilih bersembunyi, Christian menemui mereka dengan tubuh gemetar. Tapi ia berusaha tegas, “Ini rumah yang damai, senjata tidak boleh ikut masuk.”

“Senjata tidak terpisahkan,” sahut Ali Fayattia Si Komandan.  

“Baiklah, kalau begitu mari kita bicara di luar.” Christian mendahului, Fayattia mengikuti.

Fayattia meminta dokter biara ikut bersamanya karena ada anak buahnya yang terluka. Christian menolak karena Luc rapuh dan menderita asma. Lagipula jika Luc pergi siapa yang akan melayani warga desa yang sakit. Sang Komandan kemudian minta obat-obatan. “Stok obat kami terbatas, tiap hari ada seratus warga datang ke klinik,” sekali lagi Christian menolak.    

Christian tiba-tiba mengucapkan ayat Quran sebagai latar keputusannya. Ia tidak menyelesaikannya karena Fayattia yang melanjutkan dan melengkapinya. Sesudahnya, ditariknya pasukannya.

“Malam ini berbeda dengan malam-malam lainnya. Sekarang malam Natal,” ujar Christian saat pasukan baru menjauh beberapa langkah.

“Natal?” tanya Fayattia.

“Ya. Kami sedang merayakan kelahiran Sidna Aissa.”

“Jesus?”

Christian mengangguk. Fayattia mendekat lagi. “Minta maaf, saya tidak tahu,” ucapnya. Diulurkannya tangannya. Dijabatnya Christian. Tak lama berselang mereka lenyap dalam gelap.

Rahib-rahib kemudian berkumpul di satu ruangan. Luc menyuntikkan obat penenang ke lengan seorang rekannya dan rahib yang tadi ikut sembunyi mengantre di belakangnya; Amedee yang paling sepuh dan paling kurus melenturkan otot-otot Christophe yang termuda di antara mereka, tergagah, tapi yang paling gemetaran; dan Christian berjalan mondar-mandir, sesekali ditepuk-tepuknya bahu temannya. Inilah satu adegan master yang menyatukan kompleksitas kelegaan sesaat, kecemasan yang tidak terumuskan, dan keterbelahan Christian dalam keputusan yang telah diambilnya.

Meskipun Christian berhasil mengakhiri kunjungan Fayattia secara elegan namun pertempuran batiniah terus berkecamuk. “Kenapa tadi kita tidak berikan saja obat-obatan yang mereka minta?” tanya Amedee. “Seluruh permintaan mereka kita tolak, itu bisa diartikan deklarasi perang.”

Luc membela sikap Christian. “Kita memang jangan bernegosiasi, tiap hari mereka akan datang meminta hal lainnya.”

“Aku jadi biarawan untuk hidup. Bukan untuk disembelih,” Romo Celestine Ringeard mulai mendesakkan pertimbangan untuk meninggalkan biara.

“Takutnya Fayattia bukan satu-satunya pengambil keputusan. Bisa saja yang lain akan datang lagi besok,” ucap Paul Favre-Miville. “Mungkin kita harus pergi, pulang ke Prancis atau ke biara di negara lain yang aman. Masing-masing bisa membuat keputusan sendiri mengikuti nuraninya.”

“Pergi sama artinya melarikan diri. Gembala tidak akan meninggalkan domba-dombanya pada srigala,” tukas Jean-Pierre.

Masing-masing kemudian saling mengungkapkan keinginan hatinya. Pergi atau bertahan. Tapi tak seorangpun yakin dengan ucapannya sendiri.

Etienne Comar menyusun skenario Of Gods and Men selama dua tahun. Dalam proses risetnya Comar menemui salah satu rahib yang selamat. “Dia trauma, tidak bisa melupakan peristiwa itu, tapi menolak kembali ke Prancis,” ungkap Comar pada Jesper Rees dari Harian The Telegraphs. “Dia memilih tinggal di Marokko agar tidak terpisah dari apa yang sudah dilakukannya bersama komunitas Muslim di Afrika.”

Of Gods and Men mendeskripsikan harmoni dengan jernih. Melewati paruh film kian terlihat pencabiknya adalah konflik politik. Otoritas militer makin terbentuk wujudnya yang tidak tulus, tidak lebih baik dari kaum garis keras, mereka menghakimi Fayattia secara sadis dan membiarkan warga terhimpit perang kepentingan.

Omar pemuka agama desa Tibhirine bahkan tidak percaya pada tentara. “Desa ini tumbuh bersama kalian,” ujarnya pada Christian. “Kita saling melindungi. Tidak perlu militer.”

“Kami mungkin akan pergi …”

“Kenapa pergi?” Omar terkejut mendengarnya.

“Kami ini burung, kalian cabang pohon,” Seorang warga membuat perumpamaan. “Jika kalian pergi kami kehilangan tempat berpijak.”

Kekejian pemegang kekuasaan dan senjata kontras dengan adegan ini misalnya: mobil dinas biara yang butut mogok di kawasan sunyi berlatar perbukitan. Christian dan Jean-Pierre gagal memperbaikinya. Kemudian melintaslah serombongan ibu berkerudung bersama anak-anaknya. Mereka saling sapa, sembari terus mengobrol dan tertawa-tawa para wanita itu mengerubungi kap mesin yang terbuka. Entah apa yang mereka lakukan mereka meminta Christian menyalakan mesin .. Hidup! Dan mereka berpisah dengan guyub, penuh tawa dan sukacita, dan melanjutkan perjalanan. Sutradara Xavier Beauvois merekamnya dalam satu long shot, memberikan kita atmosfer yang sungguh bening.   

Para rahib stag. Christian sampai merasa perlu melakukan voting terbuka dan lisan untuk mencapai keteguhan bersama.

“Panggilanku di sini.”

I don’t see myself leaving.”

Leaving would lead nowhere. I’m not ready to leave myself.”

Last night I thought about leaving. I’m not comfortable with it.”

I’m staying.”

Let God set the table here. For everyone. Friends and enemies.”

Malam harinya, di tengah hujan lebat, Christian seorang diri di taman. Terasa seperti di Gethsemani ..

Para penghuni biara memperoleh keteguhan dan keberserahan yang sempurna. Mereka menenggak anggur dan mendengarkan komposisi balet Swan Lake karya Pyotr Tchaikovsky dari tape tua di sudut dapur. 

Menjelang kematiannya Christian menulis,In this THANK YOU, where from now on all is said about my life, I include you of course, friends of yesterday and today, and you as well, friend of the last minute, who knew not what you were doing .. And may we meet again .. Amen. Insha’Allah.”